SATU DASAWARSA TERRANO DI INDONESIA (1995 – 2006)
Oleh : Departemen Public Relations PT Nissan Motor Indonesia
Perkembangan hukum internasional yang melindungi dan mencegah efek negatif dari upaya-upaya penanaman modal yang terkait dengan perdagangan internasional, telah berhasil dibentuk oleh WTO yang bernama Trade-Related Investment Measures atau TRIMs dalam perundingan uruguay.Kerangka hukum internasional TRIMs ini dibentuk, karena didasarkan semakin meningkatnya kekhawatiran para investor asing dan negara-negara maju terhadap semakin banyaknya kebijakan-kebijakan penanaman modal khususnya di negara sedang berkembang. Apabila meninjau pada Tujuan utama dari ketentuan TRIMs, maka TRIMs dapat membantu negara penerima adalah untuk mengatur dan mengontrol aliran penanaman modal asing sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi tujuan pembangunannya.
Pada prinsipnya TRIMs merupakan unsur yang penting bagi kebijakan-kebijakan tuan rumah, terutama negara sedang berkembang, karena negara yang sedang berkembang dapat menjadikan TRIMs sebagai sarana pembangunan dan menggunakan TRIMs untuk meminimalkan dampak dari penanaman modal asing.
Pada umumnya, kebijakan-kebijakan negara berkembang sangat beragam, mulai dari pembatasan jenis penanaman modal hingga kebijakan yang mempersoalkan isu-isu politis ekonomis dan sosial. Walaupun demikian, tahapan dan jenis kebijakan penanaman modal dibidang industrialisasi telah diperkenalkan klasifikasinya oleh Chen, Edward K.Y, pada tahun 1988, yang menjelaskan sebagai berikut :
1. Import Substitution 1 (IS 1), Producing consumer goods, using protectionist measures to groom infant industries;
2. Import substitution 2 (IS2), Producing capital goods and consumer durables;
3. Export Orientation 1 (EO1) Producing labor-intensive light manufactured goods;
4. Export Orientation 2 ( EO 2) and Export Orientation 2 Complex (EO2- complex), Producing technology/capital/knowledge-intensive industries, developing services, especially financial, undergoing technological and economic restructuring.
Kebijakan-kebijakan pemerintah untuk menarik dan mengatur para penanam modal, tentu dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah digunakan dan diakui secara umum oleh Negara-negara di dunia.
Menurut Keith S. Rosenn, prinsip-prinsip penanaman modal asing secara umum sangat berkaitan dengan aspek-aspek, seperti :
A. Pendahuluan
Salah satu fenomena yang sangat penting pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah bertebarannya lembaga-lembaga negara mandiri (state auxiliary agencies) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dasar hukum yang berbeda-beda, baik dengan konstitusi, undang-undang, bahkan ada yang dibentuk dengan keputusan presiden saja.
Dasar hukum yang berbeda-beda itu menunjukkan bahwa lembaga-lembaga negara mandiri itu dibentuk berdasarkan isu-isu parsial, insidental, dan sebagai jawaban khusus terhadap persoalan yang sedang dihadapi. Hal ini mengakibatkan komisi-komisi itu berjalan secara sendiri-sendiri dan tidak saling melengkapi satu sama lain, sehingga dalam implikasi yang lebih jauh dapat mengakibatkan efektivitas keberadaan komisi-komisi itu dalam struktur ketatanegaraan masih belum tampak berjalan sesuai dengan tujuan mulia pembentukan lembaga yang ekstralegislatif, ekstraeksekutif, dan ekstrayudikatif itu.
B. Pasang-Surut Lembaga Negara
Suatu perubahan konfigurasi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi yang diterapkan dalam sebuah negara mutlak menuntut adanya pergeseran pengelolaan kekuasaan dari yang semula bersifat personal menjadi bersifat impersonal. Pada saat yang bersamaan, hal ini mengakibatkan pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap sebagai doktrin yang mapan mengalami koreksi dan dirasakan tidak cukup lagi sekadar mengklasifikasikannya menjadi kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman. Sekadar menunjuk contoh, di Inggris komplikasi persoalan-persoalan kemasyarakatan yang timbul akibat adanya perubahan konfigurasi sosial-politik berupa Revolusi Industri pada abad ke-18 dan 19 tidak bisa diselesaikan dengan mengandalkan mekanisme kelembagaan yang telah ada sebelumnya, melainkan direspons dengan membentuk badan-badan yang bersifat khusus yang dilakukan oleh parlemen. Pembentukan badan-badan yang bersifat khusus ini dianggap sebagai jawaban yang paling tepat dan diidealkan mampu menangani dan menyelesaikan kompleksitas persoalan-persoalan ketatanegaraan melalui cara yang terlembagakan dengan baik.
Oleh karena itu, bersamaan dengan derasnya komplikasi persoalan-persoalan kemasyarakatan yang muncul itu ratusan badan yang sama sekali baru didirikan dengan tujuan untuk melakukan tugas-tugas semacam (1) membuat peraturan, seperti Komisi Keselamatan dan Kesehatan Kantor Perdagangan yang Jujur (The Health and Safety Commission The Office of Fair Trading); (2) memberikan nasihat, seperti Komisi Daerah (Countryside Commission); dan (3) menyelesaikan perselisihan, seperti Komisi untuk Persamaan Rasial (The Commission for Racial Equality). Alasan utama yang ditunjuk berkenaan dengan pembentukan badan-badan tersebut adalah untuk meminimalisasi pengaruh kaum aristokrat dan memberikan penegasan terhadap konsep pemisahan kekuasaan. Nomenklatur yang diberikan untuk lembaga-lembaga itu pun berlainan satu sama lain, seperti korporasi publik, quoqos (badan non-pemerintah semiotonom), badan non-departemen, badan publik, komisi, dewan, atau badan ad hoc yang biasanya dasar pembentukannya dapat berupa undang-undang, piagam kerajaan, tindakan administratif, atau perjanjian.
Pembentukan lembaga-lembaga ekstra serupa juga terjadi di Amerika Serikat seiring dengan meluasnya peran parlemen dalam struktur ketatanegaraan sebagai akibat akselerasi dinamika masyarakat yang semakin kompleks dan menghadirkan tantangan-tantangan yang berbeda dari sebelumnya, sehingga membutuhkan jawaban-jawaban baru yang harus segera ditemukan. Oleh karena itu, parlemen Amerika Serikat membentuk suatu badan yang bertanggung jawab kepadanya dalam pelbagai urusan khusus berkenaan dengan fungsi legislasi, seperti Komisi Komunikasi Federal (The Federal Communications Commission), Dewan Penerbangan Sipil (Civil Aeronautics Board), Komisi Sekuritas dan Kurs (Securities and Exchange Commission), Dewan Kerja Sama Buruh Nasional (National Labor Relation Board), Komisi Kekuasaan Federal (Federal Power Commission), Komisi Perdagangan Antarnegara Bagian (Interstate Commerce Commission), Komisi Perdagangan Federal (Federal Trade Commission). Dalam catatan Jimly Asshiddiqie, di seluruh Amerika Serikat, badan-badan seperti ini tercatat tidak kurang dari 30 buah yang merupakan badan-badan khusus yang relatif independen dengan tugas menjalankan fungsi yang bersifat semiyudisial dan semilegislatif.
Kedudukan badan-badan khusus itu di Amerika Serikat meskipun secara administratif tetap berada di lingkungan pemerintahan, tetapi pengangkatan dan pemberhentian para anggota badan-badan khusus itu ditentukan dengan pemilihan oleh Kongres.
Sementara itu, di negara-negara Skandinavia (Swedia, Denmark, Finlandia, dan Norwegia), Perancis, Selandia Baru, Guyana Mauritius, dan lain-lain, secara khusus juga membentuk lembaga tersendiri di luar kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman untuk melindungi warga negaranya dari tindakan-tindakan yang tidak adil dari pemerintah. Lembaga ini tidak berhak mengadili atau memiliki fungsi peradilan terhadap keluhan warga negara atas suatu tindakan-tindakan yang tidak adil dari pemerintah. Akan tetapi, lembaga ini dapat melakukan penyelidikan atas persoalan tersebut. Nomenklatur untuk lembaga semacam ini disebut secara berbeda-beda di berbagai negara. Swedia, misalnya, menyebutnya dengan istilah Ombudsman Yustisi (Justitie Ombudsman), Perancis dengan Komisioner Tinggi Pertahanan (Haut Commissionaire Defenseur), dan Selandia Baru dengan Komisi Parlemen untuk Administrasi (Parliamentary Commission for Administration).
Konteks sejarah pembentukan Ombudsman Yustisi di Swedia adalah pada tahun 1713 kantor Ombudsman Tertinggi (King’s Ombudsman) diciptakan oleh Raja Swedia Charles XII setelah kembali dari pengasingannya di Turki. Sementara itu, pada tahun 1718 setelah kematian Raja Swedia Charles XII sebagian besar kekuasaan politik Raja dilimpahkan kepada parlemen Swedia (Riksdag). Akibatnya Chancellor of Justice (King’s Ombudsman) yang semula di bawah Raja kemudian menjadi bagian dari Parlemen. Tahun 1776 untuk pertama kalinya Parlemen Swedia memilih seorang Chancellor of Justice. Alasannya adalah bahwa Riksdag tidak percaya kepada kepada Raja untuk memilih orang yang lebih sesuai untuk tugas tersebut. Oleh karena itu, pada tahun 1776 lahirlan lembaga yang diberi nama Ombudsman Parlemen. Pada tahun 1809, Swedia mencanangkan Konstitusi baru di mana asal keseimbangan kekuasaan antara Raja dengan Parlemen diterapkan (the principle of balance of power between the King and Riksdag).
Pada prinsipnya, lembaga-lembaga ekstra itu selalu diidealkan bersifat independen dan sering kali memiliki fungsi campuran yang semilegislatif dan regulatif, semiadministratif, dan bahkan semiyudikatif. Oleh karena itulah muncul istilah badan-badan independen dan berhak mengatur dirinya sendiri (independent and self-regulatory bodies) yang berkembang di berbagai negara.
Akan tetapi, gejala umum yang sering kali dihadapi oleh negara-negara yang membentuk lembaga-lembaga ekstra itu adalah persoalan mekanisme akuntabilitas, kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan, dan pola hubungan kerjanya dengan kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman. Hal ini tidak terlepas dari pergulatan politik yang terjadi antara kekuatan politik pemerintah dan parlemen saat keduanya memperebutkan pengaruh dari rakyat dalam pengelolaan negara. Kekuatan politik pemerintah di era demokrasi yang “dipaksa” harus berbagi dengan kekuatan lain, khususnya parlemen, inilah yang mengakibatkan persaingan di antara keduanya tidak terelakkan. Tentu saja hal ini membawa dampak negatif berupa ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pola kerja lembaga-lembaga ekstra tersebut, karena pembentukannya sering kali tidak dilandasi kebutuhan rasional dan landasan yuridis yang cukup. Sebagai lembaga independen yang terlepas dari hubungan struktural dengan pemerintah, pemerintah tentu tidak berada dalam kapasitas untuk bisa mengontrol secara khusus terhadap lembaga-lembaga ekstra tersebut. Ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban ini, menurut Alder, dikarenakan ketentuan yang mengatur lembaga-lembaga ekstra itu kadang-kadang menciptakan mekanisme tersendiri yang berbeda satu sama lain tanpa ada perangkat konstitusional yang logis.
C. Lembaga Negara di Indonesia
Menurut Hans Kelsen, organ negara itu setidaknya menjalankan salah satu dari 2 (dua) fungsi, yakni fungsi menciptakan hukum (law-creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum (law-applying function). Dengan menggunakan analisis Kelsen tersebut, Jimly Asshiddiqie menyimpulkan bahwa pascaperubahan UUD 1945, dapat dikatakan terdapat 34 lembaga negara. Dari 34 lembaga negara tersebut, ada 28 lembaga yang kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun secara rinci dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ke-28 lembaga negara inilah yang dapat disebut sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional atau yang kewenangannya diberikan secara eksplisit oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ke-34 organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu dari segi fungsinya dan dari segi hirarkinya. Hirarki antarlembaga negara itu penting untuk ditentukan karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam lembaga negara itu. Mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah perlu dipastikan untuk menentukan tata tempat duduk dalam upacara dan besarnya tunjangan jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu, ada dua kriteria yang dapat dipakai, yaitu (i) kriteria hirarki bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya. Yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara. Sehubungan dengan hal itu, maka dapat ditentukan bahwa dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga itu dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai Lembaga negara saja, sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Di antara lembaga-lembaga tersebut ada yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Corak dan struktur organisasi negara kita di Indonesia juga mengalami dinamika perkembangan yang sangat pesat.
Setelah masa reformasi sejak tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga dan komisi-komisi independen yang dibentuk. Menurut Jimly Assshiddiqie, beberapa di antara lembaga-lembaga atau komisi-komisi independent dimaksud dapat diuraikan di bawah ini dan dikelompokkan sebagai berikut.
1) Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen, yaitu:
a) Presiden dan Wakil Presiden;
b) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
c) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
d) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
e) Mahkamah Konstitusi (MK);
f) Mahkamah Agung (MA);
g) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
2) Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang bersifat independen berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional importance lainnya, seperti:
a) Komisi Yudisial (KY);
b) Bank Indonesia (BI) sebagai Bank sentral;
c) Tentara Nasional Indonesia (TNI);
d) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI);
e) Komisi Pemilihan Umum (KPU);
f) Kejaksaan Agung yang meskipun belum ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945 melainkan hanya dalam UU, tetapi dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat penegak hukum di bidang pro justisia, juga memiliki constitutional importance yang sama dengan kepolisian;
g) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk berdasarkan UU tetapi memiliki sifat constitutional importance berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945;
h) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOM-NAS- HAM)49 yang dibentuk berdasarkan undangundang tetapi juga memiliki sifat constitutional importance.
3) Lembaga-Lembaga Independen lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang, seperti:
a) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
b) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);
c) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI);
4) Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti Lembaga, Badan, Pusat, Komisi, atau Dewan yang bersifat khusus di dalam lingkungan pemerintahan, seperti:
a) Konsil Kedokteran Indonesia (KKI);
b) Komisi Pendidikan Nasional;
c) Dewan Pertahanan Nasional;54
d) Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas);
e) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);
f) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT);
g) Badan Pertanahan Nasional (BPN);
h) Badan Kepegawaian Nasional (BKN);
i) Lembaga Administrasi Negara (LAN);
j) Lembaga Informasi Nasional (LIN).
5) Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti:
a) Menteri dan Kementerian Negara;
b) Dewan Pertimbangan Presiden;
c) Komisi Hukum Nasional (KHN);
d) Komisi Ombudsman Nasional (KON);
e) Komisi Kepolisian;
f) Komisi Kejaksaan.
6) Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan Hukum yang dibentuk untuk kepentingan negara atau kepentingan umum lainnya, seperti:
a) Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA;
b) Kamar Dagang dan Industri (KADIN);
c) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI);
d) BHMN Perguruan Tinggi;
e) BHMN Rumah Sakit;
f) Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI);
g) Ikatan Notaris Indonesia (INI);
h) Persatuan Advokat Indonesia (Peradi);
Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri –atau apa pun namanya– di Indonesia dibentuk karena lembaga-lembaga negara yang ada belum dapat memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan munculnya era demokrasi. Selain itu, kelahiran lembaga-lembaga negara mandiri itu merupakan sebentuk ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang dihadapi.
Secara lebih lengkap, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting. Pertama, tidak adanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya akibat adanya asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sistemik, mengakar, dan sulit untuk diberantas. Kedua, tidak independennya lembaga-lembaga negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu. Ketiga, ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persoalan internal maupun eksternal. Keempat, adanya pengaruh global yang menunukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri (state auxiliary agency) atau lembaga pengawas (institutional watchdog) yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang harus diperbaiki. Kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi.
Daftar Pustaka
Alder, John. Constitutional & Administrative Law. London: Macmillan Professional Masters, 1989.
Asshiddiqie, Jimly. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. Jakarta: UI-Press, 1996.
_______. “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945”, makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
_______. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Duchacek, Ivo D. Power Maps: Comparative Politics of Constitutions. Santa Barbara, California: American Bibliographical Center, 1973.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russel & Russel, 1973.
Komisi Ombudsman Nasional. Laporan Tahunan 2001. Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2001.
Thohari, A. Ahsin. “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Striktur Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Jentera, edisi 12 Tahun III, April-Juni 2006.
Yazid, T.M. Luthfi. “Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pascaamandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004.
Wieslander, Bengt. The Parliamentary Ombudsman in Sweden. Stokholm: The Bank of Sweden Tercentenary Foundation, 1999.
Dengan berlangsungnya perkawinan antara seorang laki-laki dan wanita, maka seketika itu harta yang mereka peroleh menjadi harta bersama. Hal ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 119. Namun apabila para pihak menginginkan harta tersebut dipisahkan satu sama lain, maka dapat dibuat suatu perjanjian yang dinamakan perjanjian Pra Nikah. Perjanjian semacam ini dibuat dihadapan seorang Notaris sebelum dilangsungkannya perkawinan yang biasa disebut Akta Perjanjian Kawin.
Isi Akta perjanjian kawin tersebut pada intinya adalah perjanjian antara calon suami dan isteri untuk memisahkan harta yang diperoleh oleh mereka selama berlangsungnya perkawinan. Jadi hasil pendapatan Suami dan hasil pendapatan Isteri dipisahkan satu sama lain, dan masing-masing dapat mengurus hartanya sendiri-sendiri. Dalam perjanjian tersebut juga dapat diperjanjikan hanya hal-hal tertentu saja yang dipisahkan. Sebagai akibat hukumnya, maka apabila suatu saat terjadi perceraian antara suami isteri maka tidak diperlukan lagi pembagian harta bersama. Masing-masing sudah memiliki bagiannya sendiri.
Perjanjian Kawin atau Perjanjian Pra Nikah seperti ini biasa dilakukan oleh orang-orang barat. Namun sesuai dengan perkembangan jaman tidak ada salahnya pula apabila ada diantara masyarakat kita yang menginginkan perjanjian demikian sesuai dengan kondisi khususnya perekonomian calon pasangan suami isteri untuk menghindari adanya perselisihan atau konflik mengenai harta bersama nantinya. Misalnya dalam kondisi ekonomi yang sangat jauh perbedaannya antara calon suami dan isteri. Hal ini sekaligus guna menghindari adanya maksud-maksud terselubung dari salah satu calon atau niat tidak baik di kemudian hari khususnya mengenai harta bersama.
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pertanahan, maka Jual Beli (peralihak hak) yang menyangkut tanah harus dilakukan dihadapan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dalam praktek Jual Beli tanah ini dijumpai istilah Balik Nama. Walaupun istilah ini dapat diterka artinya secara gamblang, namun masih ada juga beberapa yang belum memahami apa sebenarnya Balik Nama itu berkaitan dengan adanya peralihak hak/peristiwa hukum Jual Beli.
Untuk tanah yang telah bersertifikat, apabila terjadi transaksi jual beli antara penjual dan pembeli yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, maka selanjutnya akan dilakukan proses Balik Nama. Yang dimaksud disini adalah merubah status kepemilikan dari Penjual sebagai pemilik tanah sebelumnya kepada Pembeli sebagai pemilik tanah yang baru. Pelaksanaan proses Balik nama ini dilakukan di Kantor Pertanahan setempat dimana tanah tersebut berada. Apabila proses tersebut selesai maka pada Sertifikat tanah yang dimaksud akan tertera nama pemilik baru dari tanah tersebut yaitu nama pembeli, sedangkan nama pemilik lama dicoret. Dengan demikian proses Balik nama telah selesai dilakukan sehingga pembeli telah sah sebagai pemilik tanah yang baru. Proses ini biasanya berlangsung kurang lebih 3 – 4 minggu pada Kantor Pertanahan setempat.
Perjanjian kredit antara seorang Debitor dengan sebuah bank dapat terlaksana dengan menjaminkan Sertifikat tanah milik debitor. Selanjutnya dibuatlah suatu Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat dihadapan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Akta ini kemudian di daftarkan pada Kantor Pertanahan setempat di mana lokasi tanah tersebut berada. Kantor Pertanahan selanjutnya akan mengeluarkan Sertifikat Hak Tanggungan sebagai bukti bahwa Sertifikat tanah milik debitor tsb sedang dijaminkan di Bank. Pada saat perjanjian kredit tersebut selesai pada waktunya dan hutang debitor telah dibayar lunas, maka pihak Bank akan mengeluarkan tanda pelunasan serta mengembalikan Sertifikat tanah kepada pemiliknya.
Pada waktu proses pendaftaran Aka Pemberian Hak Tanggungan yang dilakukan sebelumnya, pada sertifikat milik debitor tersebut dicatat bahwa telah sertifikat tersebut sedang dibebankan dan dijadikan Hak Tanggungan pada Bank ybs. Oleh karenanya pada saat sertifikat tersebut dikembalikan kepada debitor pada saat telah lunas, pencatatan tersebut harus dihapuskan atau dicoret sebagai bukti bahwa Pinjaman debitor kepada Bank ybs telah lunas. Inilah yang disebut Roya, artinya konfirmasi pencatatan atas pelunasan suatu pinjaman dengan menjaminkan sertifikat tanah pada Kantor Pertanahan setempat.
Walaupun transaksi Jual Beli tanah sekarang ini merupakan suatu hal yang sudah biasa, namun kadangkala pengetahuan tersebut tidak secara detail diketahui oleh masyarakat awam khususnya mengenai perhitungan Pajak, baik Pajak Penjual maupun Pembeli.
Sebagaimana diketahui dalam Jual Beli Tanah, diwajibkan bagi Penjual maupun Pembeli untuk membayarkan Pajak.
Pajak Penjual dalam hal ini adalah Pajak yang dikenakan atas penghasilan si Penjual dalam menjual tanahnya.
Sedangkan Pajak Pembeli adalah Pajak yang dikenakan atas kenikmatan yang diperoleh Pembeli dengan memiliki sebidang tanah. Pengaturannya diatur dalam UU BPHTB (Bea Perolehan Tanah dan Bangunan) yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No.21/1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Tarif Pajak yang dikenakan adalah 5% dengan cara perhitungan sebagai berikut :
-Untuk Pajak Penjual dikenakan 5% (lima persen) flat dikalikan dengan NPOP (Nilai Perolehan Objek Pajak).
Yang dimaksud NPOP disini adalah Jumlah Transaksi /Nilai Pasar namun jika Jumlah NPOP tersebut lebih kecil dari jumlah NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) PBB maka prosentase tersebut dikalikan dengan jumlah NJOP PBB tanah ybs.
-Pajak Pembeli (BPHTB) adalah 5% dikalikan dengan NPOP dikurangi NPOPTKP (Nilai Peroleh Objek Pajak Tidak Kena Pajak). Besarnya NPOPTKP adalah Rp. 60.000.000.- (enam puluh juta rupiah) untuk wilayah DKI Jakarta dan RP. 30.000.000.- (tiga puluh juta rupiah) untuk wilayah Tangerang.
Contoh : Sebidang tanah yang berada di wilayah DKI Jakarta dengan harga transaksi 500 miliar rupiah.
-Pajak Penjual : 5% x 500 miliar
-Pajak Pembeli : 5% x (500 miliar – 60 juta rupiah).
Biaya Pajak tersebut hanya murni untuk pembayaran Pajak saja belum termasuk biaya administrasi Balik Nama pada Kantor Pertanahan setempat dan biaya PPAT.
Dikarenakan kesibukan yang sedemikian rupa, kadangkala seseorang sangat sulit untuk meluangkan waktu untuk mengurus secara langsung segala sesuatu yang penting seperti mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan seperti akta kelahiran, pendirian perusahaan serta mengurus hal lainnya. Karenanya mereka yang tidak leluasa untuk melakukan pengurusan secara langsung tersebut lalu memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakilinya dan mengurus kepentingannya untuk dan atas namanya. Maka dibuatlah Surat Kuasa. Menurut pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “pemberian kuasa adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya, untuk atas namanya, menyelesaikan suatu pekerjaan”. Tidak semua hal dapat dikuasakan kepada pihak lain. Perbuatan seperti antara lain membuat testamen, melangsungkan perkawinan (kecuali ada alasan kuat untuk itu), pengangkatan anak tidak dapat diwakilkan kepada pihak lain. Surat Kuasa ini dapat berbentuk akta autentik (akta notaris), secara di bawah tangan, secara biasa/lisan dan secara diam-diam (pasal 1793 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUHPerdata). Akta kuasa yang harus dibuat secara autentik antara lain Kuasa untuk melangsungkan Perkawinan (pasal 79 KUHPerdata), kuasa untuk menghibahkan (pasal 1683 KUHPer-dengan berlakunya UUPA sepanjang menyangkut tanah sudah dicabut, sedangkan di luar itu belum dicabut), dan Kuasa untuk memberikan Hak Tanggungan dan Kuasa untuk menjual barang tidak bergerak (tanah). Ada 2 jenis Surat Kuasa yang diatur berdasarkan pasal 1795 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu Surat Kuasa Umum dan Surat Kuasa Khusus Surat Kuasa Umum yaitu kuasa yang diberikan kepada seorang penerima kuasa antara lain meliputi perbuatan pengurusan untuk kepentingan si pemberi kuasa. Contohnya mengurus pembayaran listrik, telepon, air, penghunian dan pemeliharaan. Sedangkan Surat Kuasa khusus diberikan hanya untuk kepentingan tindakan tertentu. Di dalam Surat Kuasa khusus ini harus dengan jelas dan tegas disebutkan tindakan tertentu yang dikuasakan tersebut. Contohnya kuasa untuk mengalihkan suatu barang bergerak dan kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan, kuasa untuk mewakili klien berpekara di Pengadilan bagi seorang Pengacara. Ada suatu jenis kuasa yang tidak diperbolehkan lagi untuk dibuat yaitu yang disebut dengan Surat Kuasa Mutlak. Pelarangan kuasa mutlak ini khususnya dalam hubungannya dengan Tanah (benda tidak bergerak) yaitu berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Maret 1982 nomor 14/1982 jo Jurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 14 April 1988 nomor 2584. Pembuatan kuasa mutlak ini sebelumnya banyak disalah gunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan kata lain kuasa mutlak ini merupakan jual beli tanah secara terselubung, dimana didalam klausul kuasa mutlak tersebut selalu dicantumkan “kuasa yang tidak dapat dicabut kembali” dan si penerima kuasa dapat melakukan perbuatan apapun juga baik itu tindakan pengurusan maupun tindakan kepemilikan atas tanah yang dimaksud. Sedangkan kuasa mutlak dalam transaksi selain jual beli tanah masih dimungkinkan mengingat Hukum Perjanjian itu sifatnya mengatur dan terjadi karena adanya kesepakatan antara para pihak.
Apabila seseorang meninggal dunia, maka harta peninggalan almarhum akan jatuh ke tangan para ahli waris. Dari harta peninggalan yang menjadi hak bagi para ahli waris tersebut ada yang disebut sebagai “bagian mutlak” atau dikenal dengan istilah Legitime Portie. Pengaturan mengenai Legitime Portie ini diatur dalam pasal 913 sampai dengan pasal 929 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Bagian mutlak ini adalah bagian yang ditentukan berdasarkan Undang-Undang, dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Artinya para ahli waris yang berhak yaitu ahli waris dalam garis lurus (yang disebut legitimaris) memiliki bagian dari harta peninggalan yang tidak dapat diganggu gugat yang harus menjadi bagiannya dan telah ditentukan pula besar bagian tersebut berdasarkan KUHPer. Namun seorang isteri/suami dari Pewaris bukanlah merupakan penerima bagian mutlak (bukan legitimaris) berdasarkan pasal 911 ayat 1 KUHPerdata yang menentukan bahwa penetapan yang menguntungkan mereka yang tidak cakap adalah batal
Bagaimana seandainya Pewaris membuat suatu wasiat sedangkan wasiat itu isinya adalah memberikan seluruh hartanya kepada orang lain atau satu orang saja dari ahli warisnya sementara ahli waris yang ada lebih dari satu orang ? atau dengan kata lain wasiat tersebut telah melanggar bagian mutlak dari ahli waris lainnya ? Bolehkah seorang Notaris membuat wasiat yang seperti itu ?
Mengenai wasiat seperti demikian bisa saja dibuat oleh Notaris apabila memang Pewaris memaksa untuk menentukan demikian, namun Notaris ybs harus memberitahukan akan akibat hukumnya, yaitu bahwa para ahli waris legitimaris berhak untuk menuntut bagiannya (bagian mutlak yang menjadi hak mereka) . Dan tidak berarti pula akta wasiat seperti itu batal selama para ahli waris (legitimaris) tidak menuntut bagiannya.
Jadi dalam hal ini akta wasiat yang dibuat oleh Notaris tetap dapat dilaksanakan sepanjang tidak ada tuntutan dari para ahli waris (legitimaris). Artinya para ahli waris pun bebas untuk menuntut atau tidak menuntut bagiannya dalam harta peninggalan pewaris tersebut. Selain dari itu Pewaris pun oleh Undang-undang tidak diperbolehkan untuk menentukan atau mengatur mengenai bagian mutlak ini dalam surat wasiatnya.